Nahdliyin.id - - Media Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Dari Kaum Sarungan Menjadi Kaum Urban


Nahdliyin.id - Saya sering mengatakan bahwa peran santri begitu besar bagi bangsa ini. Memang perjuangan santri di masa kolonial dan setelah kemerdekaan, tidak main-main. Kiai dan santri berjuang dengan seruan meraih kemerdekaan mutlak dari penjajah. KarenaKemerdekaan sebagai jalan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Bagaimana kabar kaum sarungan sekarang? Apakah sumbangsih santri masih besar untuk bangsa ini? Dan bagaimana tingkat kesejahteraan kaum sarungan?


Tulisan ini sebenarnya kelanjutan dari tulisan saya dengan judul “Kemanunggalan Kiai, Santri, dan Pesantren”, juga di publish pada opini NU Online. Dalam hal ini, saya tidak ingin mendekonstruksi pendidikan pesantren atau tradisi pesantren. Saya hanya ingin memberikan gambaran jelas terhadap pesantren, bahwa dunia hakikatnya tidak menyempit, tetapi meluas—pada semua aspek.


Tidak ada yang salah dari pendidikan pesantren, pendidikan pesantren seperti pernah saya tulis adalah pendidikan alternatif yang mengedepankan pendidikan moral dan karakter. Ini merupakan keunggulan dari pesantren dibandingkan dengan pendidikan lainnya.


Dalam hal mendidik, pesantren mempunyai tanggung jawab lebih berat daripada pendidikan formal. Karena di pesantren seorang di asramakan, jauh dari orang tua dan saudara. Ia mandiri dan kuat.Lulusan pesantren diharapkan masyarakat, khususnya sebagai penyeimbang kondisi zaman yang semrawut. Lulusan pesantren juga diharapkan mampu mengimbangi kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dibangsa ini, seperti; korupsi, politik tidak sehat, dan menutup celah terlahirnya generasi amatir.


Namun, apakah hal tersebut terjadi dalam kaderisasi generasi di pesantren? Lebih dulu kita lihat, bagaimana wajah pesantren sekarang ini. Satu hal tidak bisa dipungkiri adalah, tumbuhnya pesantren dengan berbagai imagenya melahirkan kesan bahwa pesantren telah menjadi “industri pendidikan”. Di mana setiap ajaran baru, pesantren-pesantren berebut siswa, dengan berbagai iming-iming kemampuan yang akan diterima oleh santri.


Bagi dunia pesantren, ini memang kemajuan di satu sisi namun di sisi lain kemajuan ini tidak dibarengi dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Seringnya, pesantren yang berbasis “ini-itu” menawarkan pendidikan dengan mahar yang cukup “fantastis”. Saya tidak akan menyebutkannya secara spesifik.


Menjadi masalah dalam hal ini, pesantren-pesantren notabene tidak mempunyai kemampuan dana berlebih, otomatis tertinggal dari segi fasilitasnya. Dengan demikian, yang harus dipikirkan, bagaimana membuat sistem pendidikan pesantren, sekiranya mampu menopang para santri dari berbagai macam pengetahuannya dan mampu menampung para santri dari berbagai macam minatnya. Dengan kadar “mahar” yang biasa-biasa saja.


Jika hal tersebut dibiarkan, maka seperti apa kata Gus Dur, bahwa fungsi pesantren hanya sebagai “pencetak ulama”. Artinya, akan terjadi kriterium-kriterium terhadap calon santri. Menurut data di Kemenag, jumlah total santri se-Indonesia sekarang kurang lebih 4 jutaan, jumlah ini tentunya tidak termasuk santri-santri yang sudah keluar dari pesantren. Dari angka itu, khususnya santri yang sudah tidak menetap di pesantren dan akan keluar dari pesantren, berapa mereka yang telahmenjadi kiai, berapa mereka yang sudah jadi pendakwah/imam masjid, dan berapa jumlah mereka yang ahli agama, dengan kata lain terjun di masyarakat.


Apakah mencapai setengahnya? Menurut berita tertanggal Selasa, 30 Mei 2017, yang dirilis pada situs resmi Kemanag, Kementrian Agama pada tanggal 2 juni baru saja akan mengumumkan santri-santri yang lolos Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB), dari 5.000 santri pendaftar hanya diambil 270 santri yang dinyatakan lolos untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Indonesia.


Jumlah kelulusan santri setiap tahunnya (dalam hal ini saya belum menemukan data yang jelas) kalau kita terka, dari setiap pondok pesantren dengan jumlah santri 200 putra/putri, 50 santri sedang menempuh Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, dengan jumlah pesantren se-Indonesia ada 25.000, maka rata-rata lulusan pertahun adalah 25.000 x 50 = 1.250.000 santri (ini hasil terkaan, belum jumlah pasti, bisa kurang dari angka itu, atau mungkin bisa lebih).


Memang jumlah yang tidak begitu banyak kalau dihitung dari total penduduk Indonesia. Namun, jumlah tersebut terus menambah setiap tahunnya. Seandainya dari jumlah tersebut 50% melanjutkan studi-nya ke perguruan tinggi, 20% terus di pesantren, dan 30% boyongan. Maka ada sekitar 375.000 santri (30% dari jumlah) yang menetap di rumah (tidak kuliah dan tidak lanjut tinggal di pesantren). Mereka ada yang menjadi ustadz di desanya, ada yang langsung menikah, dan ada juga yang menganggur. Artinya, tidak sedikit lulusan pesantren (kalau dia terlahir dari keluarga biasa, bukan dari trah pesantren atau keluarga kaya) mencari penghidupan yang layak.


Saya punya terkaan (walaupun masih data awang-awang, dan harus diteliti lebih lanjut secara lapangan) lulusan dari pesantren menyumbangkan tidak sedikit dari mereka “merantau” atau menjadi “kaum urban” di kota-kota besar, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.


Seperti kesaksian Gus Abrar, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Banyumas, dalam liputan Majalah Cahaya Nabawi, Edisi No. 101 Safar 1433 H/Januari 2011, “Santri lulusan pesantren harus pandai membaca dan memanfaatkan peluang usaha agar bisa hidup mandiri. Jangan sampai para santri kena cap jelek oleh masyarakat, dianggap parasit karena tidak bisa bekerja. Ia juga meresahkan teman-temanya yang dulunya sama-sama belajar di pondok. Karena tak punya kemampuan membaca peluang dan minimnya pengetahuan usaha, akhirnya mereka merantau (menjadi kaum urban) ke Jakarta untuk menjadi pekerja kasar.”


Lanjutnya, sembari menceritakan kondisi di daerahnya, “Di sini banyak Madrasah dan Majlis Taklim yang terbengkalai karena ditinggal ustadznya ke Jakarta.” Fenomena ini, kalau kita mau terbuka, menjadi pemandangan yang umum dalam masyarakat, begitupun dengan apa yang saya tahu, tidak sedikit “kaum sarungan” yang merubah diri menjadi “kaum urban”.


Kalau kita runtut muasalnya, perubahan menjadi “kaum urban” itu kebanyakan diawali dari kebingungan mereka setelah keluar dari pesantren; minimnya modal, pengetahuan usaha pas-pasan, dan mental yang belum terlatih. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar sana, bahkan tidak sedikit teman-teman saya lari ke Jakarta, Bandung, Kalimantan untuk menjemput penghidupan.


Memang, tidak ada yang salah dalam hal ini. Dan urbanisasi/merantau adalah tindakan wajar. Namun, pada taraf ini, bukan masalah wajar atau tidak wajarnya. Lebih kepada, bagaimana selanjutnya pesantren menanggapi ini? Kesiapan pesantren untuk meminimalisir santri yang seharusnya memberikan manfaat terhadap masyarakat.


Bukan berarti pada kesempatan ini, saya mengarahkan pesantren untuk menjadi matrealistis, khususnya terhadap arah kehidupan santri. Melainkan, realitas di luar sana membentang begitu hebatnya. Semakin bertambah-tahun kebetuhan segala rupanya menambah tidak karuan. Ini hanya baru dari sisi ekonomi saja.


Menurut laporan dari Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) M. Jusuf Kalla, di Indonesia ini ada 800.000 masjid, berarti kebutuhan masjid terhadap santri sebegai regenerasi kiai-kiai masjid sebelumnya sangatlah urgent. Karena tidak sedikit masjid (kita dari kalangan Nahdlatul Ulama sama-sama ketahuai), telah dikuasai oleh kelompok-kelompok radikal, yang tidak ramah secara pemikiran keagamaan.


Akibatnya, ritual-ritual keagamaan yang telah menjadi pondasi kerukunan di masyarakat, sedikit demi sedikit terkikis. Nah, kalau semisal santri-nya, lulusan pesantren yang memegang kuat prinsip ahlussunnah wal jama’ah lantas kemudian menjadi “kaum urban”, bagaimana masjid-masjid kita kedepannya? (ini hanya keresahan, boleh di “amini” atau diacuhkan). Tapi, ini realitas, silakan Anda bisa baca buku “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia” dieditori oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Dengan demikian, ini bagian dari tanggung jawab pesantren sebagai institusi pendidikan yang dipercaya merawat wajah keIslaman Indonesia. Pesantren harus melakukan terobosan-terobosan yangsetidaknya memberikan solusi bagi perpindahan dari “kaum sarungan” menjadi “kaum urban”. Ini harus kita kikis jumlah kaum urban pesantren. Kecuali urbanisasi masalah intelektual, menimba ilmu—itu harus kita dukung.


Mengikis kaum urban pesantren


Sekali lagi saya ingin mengatakan, bukan maksud saya untuk menjadikan pesantren pada aktifitas komersil, apalagi santri menjadi matrealistis.Namun, mengajak pesantren untuk mandiri dalam berkembang. Diharapkankedepannya bisa menjadi jawaban keresahan-keresahan para santri setelah mereka keluar dari pesantren.


Apa yang telah di lakukan oleh Pesantren Sidogiri sangat luar biasa, bisa dikatakan Pesantren Sidogiri menjadi mercusuar dalam pengembangan ekonomi syariah. Pesantren Sidogiri Pasuruan melalui jalur Baitul Mal wa Tamwil (BMT) Maslahah Mursalah lil Ummah.


Koperasi Syariah tersebut pada tahun 2015 seperti yang dilansir oleh NU Online, pada pemberitaan Pesantren Sidogiri Mercusuar Pengembangan Ekonomi Syariah, tertanggal Selasa, 03 November 2015 “telah memiliki anggota 8.871 orang, 256 cabang, di 10 Provinsi, jumlah simpanan 165 miliar, aset 1,2 triliun, dengan omset 13,6 triliun.


Di awali dari keresahan KH. Nawawi Thoyib terhadap masyarakat yang terjerat hutang dan tentu masa depan santri, pada tahun 1997 lembaga syariah di Pesantren Sidogiri ini berdiri, pelan tapi pasti, merambat tapi hebat, sekarang Lembaga Syariah Pesantren Sidogiri telah menjadi lembaga ekonomi dan sosial di bawah payung Sidogiri Network Forum (SNF) dengan serangkaian usaha yang meliputi (1) koperasi pesantren, (2) BMT Maslahah, (3), BMT UGT Usaha Gabungan Terpadu (4) BPR Syariah Ummu (jasa Keuangan), (5) koperasi Agro, (6) SBC Sidogiri (Diklat Profesi Jasa Keuangan Syariah), (7) LAZ Sidogiri (Lembaga Amil Zakat), (8) L-KAF Sidogiri (Lembaga Wakaf), (9) IASS Sidogiri (Ikatan Alumni Santri), (10) majalah Buletin Sidogiri, dan (11) Penerbitan Pustaka Sidogiri.


Tidak sedikit mahasiswa, dosen, dan peneliti yang ingin mengetahui lebih banyak kesuksesan dari Pesantren Sidogiri membangun ekonomi. Yang menarik adalah, pesantren ini sangat meyakini, dakwah tidak sekedar bil lisan, tapi bil hal (dengan aksi nyata), model ini yang kedepannya akan menjadi manfaat.


Dari contoh Pesantren Sidogiri tersebut, bisa kita jadikan sebagai barometer pesantren dalam mengembangkan dirinya. Saya berkeyakinan, konsep/ide/gagasan/kurikulum yang akan diterapkan di pesantren mampu berjalan dengan baik ketika pesantren tersebut sudah terlebih dahulu memikirkan kemandirian secara ekonomi, tidak melulu “menengadahkan tangan” terhadap lembaga-lembaga negara maupun swasta dengan jalur “proposal”. Kadangkala dananya difungsikan tidak sesuai dengan pengajuan.


Dengan dibangunnya usaha milik pesantren, atau kemandirian ekonomi pesantren, dengan sendirinya santri terdidik jiwa kewirausahaanya. Santri terlibat dan melihat, serta menerima pendidikan kewirausahaan di lingkungan pesantren, apalagi jika pesantren kedepannya memiliki ekonomi yang kuat. Tidak menutup kemungkinan pesantren memberikan pinjaman permodalan terhadap santri tanpa bunga, dan melakukan pendampingan secara nyata supaya usaha santri berkembang dan maju.


Bukanlah hal yang bururk, ini adalah kebaikan yang dilakukan oleh sebuah institusi terhadap anak didiknya. Apalagi kenyataan yang terpampang di depan mata kita, tidak semua santri ahli agama. Kadangkala santri butuh motivasi, sebagai sangu menatap hidup yang lebih realistis. Kata Gus Dur, di sinilah kita mehami “arti agama”, tidak melulu “ajaran agama”. Artinya, masyarakat dan santri benar-benar merasakan kehadiran agama sebagai jembatan kebahagian di dunia dan akhirat.


Dengan itu, mari kita bersama-sama memutus rantai kebiasan “kaumsarungan” menjadi “kaum urban” agar lulusan pesantren anteng mengasuh masyarakat, tidak grasa-grusu melulu memikirkan masa depan hidup yang tak menentu. Pesantren sekiranya membimbing untuk memunculkan gambaran masa hidup santri lebih konkret lagi. Ribuan jalur usaha yang bisa ditempuh oleh pesantren, bisa tanpa modal atau ada modal. Modal usaha bukan alasan dasar. Bisnis jasa melimpah sekarang ini. Model bisnis tidak hanya satu atau dua.


Saya mengakhirinya, dengan kata “Pesantren dilarang gengsi”. Usaha/mencari pendanaan untuk kemandirian pesantren tidak akan meruntuhkan singsana kiai atau singgasana pesantren. Karena usaha/berdagang sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Oleh: Aswab Mahasin
(Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.)

Sumber: Nu.or.id

Title : Dari Kaum Sarungan Menjadi Kaum Urban
Description : Nahdliyin.id -  Saya sering mengatakan bahwa peran santri begitu besar bagi bangsa ini. Memang perjuangan santri di masa kolonial dan setela...

Dapatkan Berita Terbaru dari Kami Via Email: