Nahdliyin.id - - Media Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Merajut Generasi Intelektual Kaum Sarungan

Nahdliyin.id - Apakah Anda santri? Santri identik dengan sarung, tapi tidak melulu yang bersarung adalah santri—bisa jadi orang tua santri atau tetangga santri. Di pesantren sarung mempunyai filosofi tinggi, saya mengartikan sarung ialah “sarune dikurung” (sarung). Artinya, sarung merupakan instruksi kehidupan, agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono. Karena itu, dalam kultur pesantren saling menghormati diutamakan, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.


Manusia mempunyai lima dimensi yang harus dikendalikan; pikiran (akal), perasaan (hati), ucapan, tindakan, dan hawa nafsu. Dan “sarung (sarune dikurung)” mempunyai makna agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya.


Bertolak belakang dengan apa yang dikatakan oleh Arnold Toynbee, “titik lemah manusia adalah bahwa kita belum menemukan jalan yang lebih baik untuk menjaga martabat kita kecuali secara semu menutupi alat dan fungsi hewani kita.” Namun, sarung tidak hanya sebagai simbol kaum santri, melainkan mempunyai makna spiritual. Sarung bukanlah kain “semu” tanpa makna.


Anehnya, kaum bersarung selalu dianggap konservatif, tidak berpendidikan, dan anti-intelektualisme. Meminjam istilah Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan dan Pesantren Studies, kembali ke Pesantren sama saja dengan kembali ke zaman jahiliyah. Bagi saya ini sesat pikir.


Pesantren adalah lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia. Pesantren telah banyak berperan untuk kemajuan bangsa. Rentang sejarah Indonesia sejak Perang Jawa 1825-1830, menurut KH Said Aqil Siroj pada salah satu ceramahnya, ada 120 perlawanan terhadap penjajah yang dipimpin oleh Kiai, dan mereka tumbang di medan perang (membela bangsa). Dari sini kita sama-sama membayangkan, bagaimana para santri memperjuangkan bangsa Indonesia agar terlepas dari hegemoni penjajah yang tidak manusiawi.


Selain itu, kita mengenal sosok KH. Hasyim Asy’ari dengan “Resolusi Jihadnya”, KH. Wahid Hasyim dengan “Ijtihad Kebangsaannya”, KH. Wahab Hasbullah dengan ide “Halal bi Halalnya”, KH. Abdurrahman Wahid dengan “Bapak Pluralismenya sekaligus Mantan Presiden RI”, KH. Musthofa Bisri dengan stampel budayawan, penyair, dan pelukis, dan masih banyak tokoh-tokoh pesantren lainnya yang mempunyai pengaruh luar biasa (Abuya Dimyati, Gus Miek, Abah Anom, Guru Sekumpul, dan sebagainya).


Dr. Soetomo pendiri Budi Oetomo pernah mengatakan, “Lihatlah buah dari perguruan asli kita (pesantren) itu, coba bercakap dengan kiai-kiai itu, sungguh megherankan pada siapa yang berdekatan dengan mereka, logic mereka, pengetahuan mereka yang didapati dari buku-buku yang dipelajari mereka, pengetahuan yang sungguh hidup”. (Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a: Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, 2013)


Inilah yang harus disadari oleh masyarakat pada umumnya, atau pengamat khususnya, yang memandang pesantren sebagai model pendidikan “kolot”. Lucunya, tidak sedikit yang menuding pesantren sebagai sarang “teroris”. Perlu diingat, dahulu pesantren sering dicaci dan dipertentangkan oleh segolongan kelompok. Namun sekarang, lembaga pendidikan agama yang mengatasnamakan diri sebagai pesantren tumbuh subur, dengan model dan karakter yang berbeda.


Martin van Bruinessen, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat mengingatkan kita, sekarang pesantren muncul dari berbagai aliran Islam Indonesia masa kini. Aliran-aliran modernis, reformis dan fundamentalis yang pada mulanya sebagai penentang terhadap tradisi ini.” Kaum fundamentalis misalnya, sekarang mempunyai lembaga pendidikan yang dinamakan pesantren. Menurut Martin, dari sini terjadi pergeseran penekanan dalam materi kitab-kitab tradisional, yang tampaknya terpengaruh semboyan kaum modernis/fundamentalis, “memurnikan Islam/konteks ke teks”.


Bukanlah sikap yang bijak, mengidentifikasi pesantren sebagai sumber kekacuan yang ada sekarang, apalagi aksi-aksi teror. Tidak bisa dipukul rata. Alih-alih kita mendukung pesantren yang masih memegang teguh terhadap prinsip nasionalisme, bukan menjatuhkannya.


Perkembangan sekarang, pesantren semakin diminati oleh banyak kalangan, tidak hanya dari keluarga yang sebelumnya “mesantren”, melainkan seluruh lapisan masyarakat. Karena pesantren dianggap sebagai pendidikan alternatif yang mengedepankan penguatan karakter dan pendidikan moral. Dan pesantren sudah banyak berbenah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dunia yang berkembang.


Pesantren sama sekali tidak tertutup dan tidak menutup diri dari perkembangan zaman apalagi dari pengetahuan, pesantren “terbuka” dan “otentik”. Pesantren menyadari hal ini sebagai kesadaran subjektif dan objektif, pembentuk dan penikmat dari kemajuan bangsa.


Agenda membentuk generasi intelektual santri dirasa penting. Tentunya dengan berbagai ide dan konsep, memang tidak mudah membuat konsep yang selaras dan relevan. Namun, diam saja tanpa ide/konsep jauh lebih susah, susah mengikuti berbagai perkembangan.


Tawaran terhadap pesantren


Sebuah keniscayaan dunia ini berubah dan sebuah kepastian dunia ini berkembang. Modernisasi menawarkan kompleksitas, kemanfaatan di satu sisi dan kemudhartan di sisi lain. Perubahan tidak terjadi hanya dalam tataran tekhnologi belaka, melainkan diberbagai aspek, khususnya perubahan sosial pada level kemasyarakatan ataupun kebangsaan. Seharusnya pesantren mengikuti perubahan tersebut sebagai jembatan komunikasi.


Sepertihalnya yang disampaikan Zainal Arifin Thoha dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kiai, Pada satu sisi keberadaan pesantren menjadi pendorong perubahan masyarakat, sedang pada sisi lain ia juga terdorong agar tak ketinggalan zaman. Konvergensi kultural ini sudah barang tentu menjadi keniscayaan bagi sebuah institusi sosial, terlebih lagi berkenaan dengan lembaga pendidikan yang menjadi garapan utama sebuah pesantren.”


Ada sebuah kaedah/adagium menyatakan, “Memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik” (al-muhâfadzah ‘ala al-qadîm al-sâlih wa al-akhzu bi al-jadîd al-aslah). Adagium ini adalah cermin dari sikap sadar. Istilah memelihara hal-hal lama yang baik (al-muhâfadzah ‘ala al-qadîm al-sâlih) adalah refleksi dari tradisi, sedangkan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-akhzu bi al-jadîd al-aslah) adalah refleksi penerimaan modernisasi.


Dengan demikian, pesantren tidak harus merombak secara total, baik sistem pendidikan maupun kebiasaanya. Pesantren tetap dengan wajahnya yang “asyik”, sistem hapalan, kajian kitab kuning, musyawarah, takrar, mudrasah jam’iyah, sorogan, dan sebagainya.


Menawarkan konsep dan ide terhadap pesantren, lebih dulu kita menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan pesantren diam, tidak berkembang; pertama, tumpang tindih kepentingan pimpinan pesantren, ketika pesantren diasuh lebih dari satu tangan, apalagi tanpa pembagian tugas yang jelas, kedua, kesadaran merubah diri untuk menerima hal-hal baru yang bermanfaat, pimpinan pesantren biasanya lebih bertahan terhadap latar belakang pendidikannya dan keahilannya.


Sehingga sistem pengajaran di pesantren monoton, itu-itu saja—tanpa asupan pengetahuan lain, khususnya membangun daya kritis santri, ketiga, jaringan yang tidak luas, dengan kata lain kurangnya menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga terkait, sebagai fungsi kerjasama dalam pengembangan kemampuan santri, keempat, fasilitas yang terbatas, kelima, sumber dana yang terbatas, dan keenam, minimnya akses literasi sebagai bahan kajian santri.


Faktor-faktor tersebut bukanlah sebuah kepastian yang menghambat pesantren, masih bisa diperdebatkan atau ditambahkan. Itu hanya pembacaan yang nampak dipermukaan. Bagi saya, faktor di atas bagian dari susahnya pesantren berkembang, efeknya, paradigma santri menjadi sempit, sedangkan dunia terus meluas.


Merajut generasi intelektual kaum bersarung jangan dipersepsikan pada satu jalur saja, yaitu ilmu-ilmu pengetahuan terkini, melainkan lebih kompleks dari itu semua. Apalagi didukung dengan karakter kaum bersarung yang fleksibel, tidak kaku dan tidak ajeg.


Saya berharap, ketika faktor-faktor tersebut menjadi kendala dalam pendidikan pesantren, kaum sarungan punya inisiatif personal/kesadaran personal menjemput daya kritisnya, untuk terus melek terhapad dunia yang ada sekarang, bisa melalui membaca buku, membuat kelompok diskusi dengan teman-temannya di luar pengajaran pondok, dan terus melakukan aktifitas kreatif, apapun itu.


Contoh lebih konkretntya seperti ini; Setiap satu minggu sekali santri bisa membeli satu buku/kitab (secara patungan), dan kemudian buku/kitab tersebut isinya dibedah bersama-sama dengan kelompok diskusinya, aktivitas ini setidaknya akan menambah daya kritis dan wawasan santri.


Para kaum sarungan juga, bisa menghidupkan dunia literasi disetiap kamar pondok, dengan inisiatif dari ketua kamar pondok membuat perpustakaan kamar, itu hanya beberapa contoh yang bisa digarap oleh para santri, bisa juga membuat area bahasa.


Yang jelas, kreatifitas seorang kaum sarungan harus benar-benar dipompa terus menerus dalam mengembangkan dirinya, dari sini mungkin akan terlahir generasi intelektual kaum sarungan. Tentunya, aktifitas ini dilakukan tanpa batas, karena kaum sarungan juga punya peran untuk membangun kulturnya sendiri di dalam lingkungan pesantren.


Sedangkan, merespon positif perkembangan zaman, khususnya dalam agenda merajut generasi intelektual kaum sarungan, mari kita coba konsepkan. Di atas kita sudah membahas gejala yang menghambat institusi pesantran dalam perkembangannya, sekaligus dengan dorongan inisiatif yang harus digali para santri secara mandiri. Sekarang mari kita cari ide/gagasan untuk diterapkan oleh pesantren dalam mewujudkan generasi intelektual kaum sarungan.


Pertama, kesadaran terhadap keterbukaan informasi harus mulai disalurkan pesantren terhadap santri, untuk menumbuhkan sebuah paradigma berpikir yang seimbang. Dalam hal ini, pesantren bisa melakukan pelatihan/seminar-seminar tentang cyber dakwah, dunia kewirausahaan, disksusi-diskusi ilmiah mengenai isu-isu terkini, pelatihan jurnalistik, dan sebagainya.


Kedua, pengembangan nilai-nilai sosial budaya di kalangan warga pesantren secara lebih teratur. Termasuk dalam kegiatan ini adalah penciptaan sebuah badan yang bertugas membuat penilaian periodik atas bahan-bahan pengajaran yang digunakan, dan proyek untuk mengusahakan buku-buku wajib yang lebih sempurna bagi para santri. (Abdurrahman Wahid; 2010)


Ketiga, pesantren memberikan pendidikan alternatif bagi para santri dengan membuat “lembaga bahasa”, hal ini sebagai respon positif pesantren terhadap kepentingan santri dalam pergaulan global kedepannya.


Keempat, pesantren memberikan/membuat sebuah wadah/fasilitas terhadap minat, bakat dan potensi santri, entah itu dalam bidang keilmuan maupun kreatifitas. Dalam hal ini, pesantren bisa melakukan penjurusan atau pelatihan-pelatihan tentang dunia seni peran, seni musik, seni melukis, dan sebagainya. Sedangkan untuk menunjang minat terhadap keilmuan para santri, pesantren bisa membuat forum diskusi tertentu sesuai dengan masing-masing minat.


Kelima, pesantren mendirikan sebuah lembaga penelitian, penerjamahan, dan penciptaan forum-forum bagi dialog yang konstan antara kalangan pesantren. Serta berdirinya perpustakan yang mengumpulkan dan mengembangkan literatur-literatur tentang keilmuan, khususnya tentang pesantren atau yang lainnya.


Keenam, pesantren membuat divisi usaha (semacam Badan Usaha Milik Pesantren) sebagai penunjang kegiatan-kegiatan pesantren. Usaha disesuaikan dengan potensi dan kemampuan pesantren.


Itulah beberapa konsep yang saya tawarkan untuk merespon posisi pesantren dalam pertarungan global. Bagi saya, ide-ide di atas tidaklah berlebihan, karena pesantren bisa menerapkannya secara bertahap, tidak harus sekaligus jadi.


Lebih dulu pesantren melakukan kaderisasi terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) pesantren, sebagai eksekutor dari setiap konsep yang ingin dijalankan—agar konsep matang dan tidak berhenti di tengah jalan.


Saya yakin, masih banyak ide-ide (mungkin di kepala pembaca) untuk memajukan pesantren, khususnya mencetak generasi intelektual kaum sarungan. Tidak ada larangan dan tidak ada paksaan, mari sama-sama mengembangkan pesantren, demi mendukung berkembangnya para santri, dalam hal apapun.

Oleh Aswab Mahasin

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.

Sumber: Nu.or.id

Title : Merajut Generasi Intelektual Kaum Sarungan
Description : Nahdliyin.id -  Apakah Anda santri? Santri identik dengan sarung, tapi tidak melulu yang bersarung adalah santri—bisa jadi orang tua santri ...

Dapatkan Berita Terbaru dari Kami Via Email: