Nahdliyin.id - - Media Islam Rahmatan Lil 'Alamin

Menjadi Santri Seperti Imam Al-Ghazali


Nahdliyin.id - Eric Linn Ormsby, seorang sarjana dan sastrawan Amerika, mengatakan: For the breadth, subtlety and influence of his work, Ghazali deserves to be counted among the great figures in intellectual history, worthy to be ranked with Augustine and Maimonides, Pascal and Kierkegaard—karena keluasaan, ketajaman dan pengaruh karyanya, Ghazali pantas dihitung di antara tokoh-tokoh besar dalam sejarah intelektual, layak disandingkan dengan Augustine dan Maimonides, Pascal dan Kierkegaard.” (Eric L. Ormsby,Ghazali:Makers of the Muslim World, Oxford: Oneworld Publications, 2007,hlm ix).


Menjelang hari santri 22 Oktober 2017, kita harus menjadikan momen tersebut sebagai re-evaluasi terhadap kesantrian kita. Apakah kita telah cukup belajar dari guru-guru kita di pesantren? Atau sekedar berbasa-basi dalam mengaji? Semoga saja tidak. Jikapun iya, minimal kita masih membawa pulang arti penting agama dan memegang teguh nilai-nilai kesantrian. Namun, melangkah maju ke depan jauhlebih penting untuk seorang santri, yaitu menjadi santri yang memahami arti penting agama, nilai-nilai kesantrian, spiritualitas yang kuat dan kualitas intelektual yang baik.Karena itu, kita perlu belajar dari Imam al-Ghazali.


Rihlah intelektual al-Ghazali dimulai dari sebuah madrasah. Ia dan adiknya, Ahmad al-Ghazali telah menjadi yatim-piatu sejak kecil. Awalnya mereka dititipkan pada seorang sufi, teman ayahnya sebelum meninggal. Kemudian sufi itu memasukkan al-Ghazali bersaudara ke dalam madrasah karena tidak mampu menghidupi mereka. Imam al-Ghazali mengakui bahwa tujuan awal mereka masuk madrasah bukan karena Allah (thalabnâ al-‘ilm li ghairillah), tapi untuk mendapatkan makanan. Dalam catatan Imam Tâjuddîn al-Subkî, hal itulah yang menjadi sebab mereka berdua mendapatkan derajat luhur—huwa al-sabab fi sa’âdatihimâ wa ‘uluw darajatihimâ, (Tâjuddîn al-Subkî, Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, juz 6, hlm 193-194).


Seiring berjalannya waktu, mereka semakin tenggelam dalam aktivitas belajar yang perlahan-lahan membuat mereka menjadi pecinta ilmu. Dibandingkan dengan keadaan Imam al-Ghazali, kita tidak ada apa-apanya. Imam al-Ghazali tidak pernah mendapatkan kiriman uang. Untuk mendukung kebutuhan belajarnya, Ia harus berjuang siang malam, mencari makan dan uang agar dapat membeli perlengkapan belajar.Kesukaran hidup tidak menghentikannya menuntut ilmu. Ia berpindah dari satu kota ke kota lainnya untuk memperluas cakrawala pengetahuannya.


Sebagian besar santri di Indonesia mendapatkan fasilitas yang tidak dimiliki al-Ghazali, selain guru hebat semacam Imam al-Haramain al-Juwaini. Hasrat kita untuk memperluas pengetahuan pun terbilang rendah. Tidak sedikit santri yang ketika telah mampu membaca kitab kuning merasa puas, seakan-akan pengetahuan telah habis, termasuk saya sendiri.Mungkin karena kecenderungan inilah umat Islam tertahan di belakang dibandingkan umat-umat agama lainnya. Ini mungkin lho, untuk membincangkan soal ini dibutuhkan penelitian yang teliti dan komprehensif. Tidak cukup hanya dengan pengamatan sepihak.


Zaman dulu, ulama-ulama kita menguasai banyak disiplin ilmu (multidisipliner). Contohnya Ibnu Rusyd, Ia seorang ahli fikih, nahwu, logika, filosof sekaligus dokter. Lain lagi dengan Ibnu Khaldûn yang sering disebut sebagai founder of sociology (pendiri ilmu sosiologi). Selain ahli fikih Madzhab Maliki, Ibnu Khaldun juga seorang sejarahwan, sampai Arnold J. Toynbee memuji buku Muqaddimahnya dengan ungkapan: a philosophy of history which is undoubtedly the greatest work of its kind that has ever yet been created...—sebuah buku filsafat sejarah yang tidak diragukan lagi karya terbesar dari genre-nya yang pernah ditulis” (Encyclcopaedia Britannica, cetakan ke-15, vol 9, hlm 148). Jika manusia di zaman dulu mampu, kenapa sekarang tidak?


Baiklah, sekarang kita coba untuk sedikit menuju ke arah itu, dengan mengambil teladan dari proses belajar dan kehidupan Imam al-Ghazali. Ya, meskipun sekedar langkah kecil tapi patut untuk dicoba. Saya akan membaginya dalam beberapa bagian, yaitu:


Pertama, belajar tiada henti. Imam al-Ghazali tidak pernah berhenti belajar sampai kewafatannya. Ia berpindah dari satu guru ke guru lainnya untuk mendapatkan ilmu yang belum dikuasainya, bahkan setelah meninggalkan jabatan rektornya di Madrasah Nizamiyyah, sebuah jabatan intelektual paling prestisius saat itu, Ia terus mencari guru dan mempelajari segala hal bertahun-tahun lamanya.


Dalam kegemarannya berpindah untuk menuntut ilmu,ada sebuah hikayat menarik yang sangat mempengaruhinya di kemudian hari, terutama dalam hal menuntut ilmu. Suatu ketika,dalam perjalanan menuju Jurjan (ketika itu al-Ghazali masih sangat muda), Ia berjumpa dengan sekumpulan penyamun yang mengambil seluruh ta’lîqât-nya (catatan belajarnya). Imam al-Ghazali meminta penyamun itu untuk mengembalikannya karena semua pengetahuannya tercatat dalam ta’lîqât tersebut. Penyamun itu tertawa tebahak-bahak sembari berkata:


كَيفَ تَدعِي أَنَّك عرفت علمهَا وَقد أخذناها مِنْك فتجردت من مَعْرفَتهَا وَبقيت بِلَا علم


“Bagaimana kau bisa menyebutnya pengetahuan, ketika aku mengambilnya darimu, pengetahuanmu hilang dan kau pun tak lagi berilmu.” (Tâjuddîn al-Subkî, vol 6, hlm 195).


Imam al-Ghazali sering mengatakan bahwa nasihat terbaik yang pernah Ia dapatkan berasal dari seorang penyamun dan menganggap hal itu sebagai petunjuk dari Allah untuk merubah cara belajarnya (li yursyidunî bihi fi amrî).


Setelah kejadian itu, Imam al-Ghazali menghafalkan seluruh isi dari ta’lîqâtnya selama tiga tahun lamanya. Katanya: law qatha’a ‘alâ al-tharîq lam atajarradu min ‘ilmî—andai terjadi pencegatan lagi di jalan, aku tidak akan kehilangan pengetahuanku lagi.” (Tâjuddîn al-Subkî, vol 6, hlm 195).


Kedua, mempelajari semua disiplin ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali melahap semua pengetahuan yang mungkin Ia dapatkan saat itu, dari mulai filsafat, logika, mantik, geometri dan lain sebagainya. Mengenai hubungan Imam al-Ghazali dengan sains, banyak orang yang salah memahami. Mereka sering menyebutnya sebagai anti-sains, bahkan ada yang menjadikan Imam al-Ghazali sebagai tersangka kemunduran Islam. Namun, jika kita menelaah pandangan al-Ghazali dalam muqaddimah tsâniyyah(prawacana kedua) kitab Tahâfut al-Falâsifah, kita akan menemukan perspektif lain. Bahwa Imam al-Ghazali sangat mendukung perkembangan sains.


Baginya, persoalan tentang pandangan al-ardlu kurrah (bumi itu bulat)dan penyebab gerhana matahari karena bulan berposisi di antara matahari dan al-nadhir [pelihat/bumi], terjadi saat keduanya berkumpul di satu titik dalam garis yang sama—wuqû’ jarm al-qamar bain al-nâdhir wa bain al-syams wa dzalika ‘inda ijtimâ’ihimâ fî al-‘aqdatain ‘alâ daqîqah wâhidah—tidak perlu diragukan lagi. Lebih jauh al-Ghazali mengatakan:


ومن ظن أن المناظرة في إبطال هذا من الدين, فقد جني علي الدين وضعف أمره, فإن هذه الأمور تقوم عليها براهين هندسية حسابية, لا يبقي معها ريبة...


“Siapa saja yang berpandangan bahwa kajian dalam mempersoalkan teori di atas bagian dari agama, maka telah berbuat jahat terhadap agama dan melemahkan sendi-sendinya. Sebab, teori di atas dikonstruksi atas bukti-bukti astronomi yang matematis, tiada keraguan sedikit pun terhadapnya..” (Abû Hâmid al-Ghazali,Tahâfut al-Falâsifah, ed. Dr. Sulaiman Dunya, Kairo: Darul Ma’arif, tt,hlm 80).


Dengan mengatakan itu, al-Ghazali sangat mengapresiasi kemajuan sains. Kritiknya lebih kepada dorongan konstruktif-aktif dalam mencari kebenaran.Para pelajar (santri) tidak seharusnya menerima semua teori dan gagasan yang dikemukakan seorang ilmuwan karena prestasinya di bidang sains dan matematika. Di sini saya tidak akan membahas panjang lebar isi buku Tahâful al-Falâsifahsecara detail, saya sekedar memberikan informasi tentang posisi al-Ghazali terhadap sains terapan di buku tersebut.


Ketiga, terus berproses menjernihkan hati dari penyakit-penyakitnya. Di saat karir akademiknya berada di puncak, Imam al-Ghazali mengalami krisis spiritual pada tahun 1095. Ia meninggalkan jabatan prestisiusnya di Baghdad untuk mencari metode yang dapat membersihkan hatinya. Sebelum pergi, Ia memastikan keluarganya memiliki kehidupan yang layak dan berkecukupkan. Dalam proses spiritual ini, al-Ghazali sempat menjadi tukang sapu ketika melakukan uzlah (seklusi) di Masjid Damaskus, serta menghasilkan karya monumentalnya Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn, sebuah buku yang meliputi hampir semua aspek agama Islam, dari mulai fikih, teologi hingga tasawuf.


Keempat, meninggalkan banyak karya. Selain dari murid-muridnya, nama al-Ghazali dikenal sampai sekarang karena karya-karyanya. Ia seorang penulis orisinil, bukan sekedar penukil. Ia membangun epistemologinya sendiri dan memberikan paradigma baru. Ilmu tauhid yang semula sekedar mengenal Allah secara teoritis dibawanya ke wilayah aplikatif. Misalnya, seorang yang hendak mengenal sifat al-Rahmân Allah, Ia harus belajar mengasihi. Cara terbaik mengenal Tuhan adalah dengan mengaplikasikan sifat-sifatNya yang terpuji. Inilah maksud dari man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah—siapa saja yang mengenal dirinya pasti mampu mengenal Tuhannya. Karena Tuhan telah meniupkan ruhNya kepada manusia, sehingga manusia mewarisi sifat-sifat baikNya, hanya saja manusia teramat sering lalai.


Semasa hidupnya, Imam al-Ghazali menulis banyak buku, lebih dari 100 buku, dari berbgai tema dan genre. Beberapa bukunya yang terkenal adalah al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd (Moderasi dalam Akidah), al-Munqidh min al-Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan), Minhaj al-‘Âbidîn(Metodelogi Para Ahli Ibadah), Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn(Revivalisasi Ilmu Agama), Kimiya al-Sa’adah (Kimia Kebahagiaan), Mi’yar al-‘Ilm fi Fan al-Manthiq (Kriteria Pengetahuan dalam Seni Logika), dan masih banyak lainnya.


Andai para santri dapat meneladani satu saja dari empat poin yang saya sebutkan di atas, saya kira masa depan ilmu pengetahuan dalam Islam akan terlihat menjanjikan.Sekarang ini jarang sekali ulama atau santri yang multidisipliner. Kebanyakan dari mereka hanya menguasai satu bidang ilmu. Itupun tidak secara matang. Tapi ingat, saya hanya sekedar berhayal jika para santri bisa seperti Imam al-Ghazali. Meski bisa dikatakan hampir mustahil, tapi mungkin lho. Paling tidak dari hayalan itulah terbangun semangat untuk meneladani. Semoga saja ya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

oleh: Muhammad Afiq Zahara
(Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Kebumen.)

Sumber: Nu.or.id

Title : Menjadi Santri Seperti Imam Al-Ghazali
Description : Nahdliyin.id - Eric Linn Ormsby, seorang sarjana dan sastrawan Amerika, mengatakan: For the breadth, subtlety and influence of his work, Gh...

Dapatkan Berita Terbaru dari Kami Via Email: